http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/42-media-online/626-85-daging-ayam-broiler-mengandung-antibiotik.html
JAKARTA--MIOL : Hasil penelitian mengungkapkan sebanyak 85% daging dan 37% hati ayam broiler di Jabotabek mengandung residu kelompok antibiotik penisilin cukup besar. Jika daging dan hati ayam itu dikonsumsi dalam jangka waktu cukup panjang berisiko munculnya berbagai penyakit.
Hal itu diungkapkan dua peneliti,
Rusiana dan DN Iswarawanti, pada Seminar SEAMO (Southeast Asian Ministers of
Education Organization) dan Tromed RCCN (Tropical Mendicine Regional Center
for Community Nutrition) Universitas Indonesia di Jakarta, Senin (22/12).
Kepada Media, Rusiana yang juga
menjabat Kepala Seksi Penilaian Produk Pangan Fungsional Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (POM) mengatakan telah melakukan penelitian ayam broiler di
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Sebanyak 80 ekor ayam
broiler dijadikan sampel untuk penelitian.
Berdasarkan hasil penelitiannya, ternyata hasilnya 85% daging ayam broiler dan 37% hati ayam broiler itu mengandung residu antibiotik. Rusiana menjelaskan dari sampel daging dan hati broiler itu terdapat residu antibiotik tylosin, penicillin, oxytetracycline, dan kanamycin. Penelitian sampel kelompok antibiotik menggunakan metode Bioassay dan hasil analisisnya dinilai berdasarkan Codex Alimentarius Commission (CAC) atau standar pangan yang digunakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan Dunia (FAO), dan standar European Economic Community (EEC). ''Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa kelompok antibiotik penisilin merupakan residu yang paling banyak ditemukan di hati ayam,'' kata Rusiana. * Sementara itu, Iswarawanti menambahkan hati ayam broiler mengandung lebih banyak antibiotik kelompok penisilin dibandingkan daging. Kandungan antibiotik penisilin mencapai 41,3% jika dihitung berdasarkan maximum residue limit--MRL per batas maksimal residu). Angka itu masih di bawah 45% kandungan MRL residu penisilin. Namun, dia mengingatkan bahwa sebenarnya kelompok antibiotik penisilin itu bukan digunakan untuk ternak ayam, melainkan untuk pengobatan manusia. Jadi, jika daging dan hati ayam broiler itu dikonsumsi dalam jangka waktu panjang sangat membahayakan kesehatan manusia. Iswarawanti menjelaskan penyakit yang ditimbulkan akibat mengonsumsi daging dan hati ayam broiler yang mengandung antibiotik itu secara berkepanjangan bisa menyebabkan teratogenic effect, carcinogenic effect, mutagenic effect dan resisten terhadap antibiotik sendiri. Rusiana menjelaskan bahwa teratogenic effect adalah kandungan antibiotik bisa menyebabkan efek buruk untuk ibu yang mengandung, terutama untuk janinnya. Ibu yang mengandung bisa mengalami keguguran atau bayi yang dilahirkan cacat. Kalau carcinogenic effect, antibiotik yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan munculnya penyakit kanker. Sedangkan mutagenic effect, antibiotik dapat menimbulkan mutasi bagi mikroorganisme seperti bakteri. * Sementara itu, bagi mereka yang banyak mengonsumsi daging dan hati ayam yang mengandung antibiotik, tubuhnya akan mengalami resistan terhadap reaksi antibiotik. Maka, obat antibiotik yang dikonsumsi orang yang banyak makan hati ayam yang mengandung antibiotik tidak akan menimbulkan efek apa pun. ''Antibiotik itu juga bisa menimbulkan alergi seperti menimbulkan bintik-bintik dan gatal-gatal pada kulit,'' tambah Rusiana. Dia menjelaskan, untuk daging yang kandungan antibiotiknya rendah relatif aman. Tetapi, hati ayam yang banyak ditemukan mengandung lebih banyak antibiotik penisilin sudah perlu hati-hati untuk mengonsumsinya. ''Padahal, selama ini banyak orang yang mengharapkan mendapat asupan zat besi dengan memakan hati ayam. Tetapi, hati ayamnya ternyata belum aman,'' katanya. Ditanya kenapa daging dan ayam brolier mengandung antibiotik terutama penisilin, Iswarawanti mengatakan kemungkinan ketidaktahuan dan tidak adanya penyuluhan bagi peternak ayam. Mereka hanya mengharapkan ayamnya sehat, maka disuntik atau diberi pakan yang mengandung antibiotik. (MI/O-1) |
Daging Ayam Beku Lebih Aman
Bila
Anda diminta memilih daging ayam yang tampak segar padahal berformalin
dan daging ayam yang diawetkan dengan pembekuan, tentu Anda memilih yang
kedua. Sebab, biasanya, ayam beku itu bebas bahan beracun.
“Empat
jam setelah dipotong, tanpa pengawet, daging ayam mulai membusuk. Salah
satu cara mengawetkan yang manusiawi adalah dengan didinginkan
(dibekukan, Red.),” ungkap Drh. Hari Wiyoso Tri Kuncoro, pengusaha
daging ayam beku di Cinere, Depok, Jabar. Berjualan ayam setelah
dipotong dalam volume besar, lanjut dia, tidak mungkin sekaligus habis.
Oleh sebab itu, sisanya harus dibekukan.
Sebelumnya,
Hari mengaku berjualan daging ayam segar. Kelemahannya, daging ayam
hasil pemotongan pukul enam pagi, empat jam kemudian sudah kelihatan
menghijau. Atas dasar itu pula, dia beralih jualan daging ayam beku.
Menurut
Hari, di pasar, boleh dibilang 80% daging ayam yang dijual segar,
menggunakan formalin sebagai bahan pengawetnya. Sebenarnya banyak bahan
pengawet, tapi yang paling murah adalah formalin. Tapi jangan salah,
formalin termasuk racun yang paling karsinogenik (menyebabkan kanker).
Hal
senada diutarakan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi, ahli dan Dosen
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB. “Bagaimana
pun hewan yang sudah dipotong seperti kambing, domba, sapi, juga
unggas, (karkas) itu harus dipertahankan dengan rantai dingin. Artinya,
dia harus dipertahankan kondisinya di bawah 4oC. Oke, ada orang mengatakan 7oC,” paparnya.
Masa
simpan daging ayam di suhu kamar (tempat terbuka) tanpa adanya
penambahan bahan-bahan yang aneh, lanjut Denny, paling lama 5—6 jam
sudah bau. Kalau ada daging ayam pada suhu kamar bisa tahan lebih dari 6
jam, dirinya curiga daging itu dikasih bahan pengawet. Soalnya, lebih
dari itu biasanya daging ayam sudah tidak bagus karena kuman berkembang
setiap 15 menit. “Kalau pada daging ayam itu hanya mengandung satu
kuman, terutama bakteri, maka dalam waktu lebih dari lima jam bisa
mencapai lebih dari satu juta bakteri. Padahal, jumlah bakteri pada
unggas yang baru dipotong nggak
mungkin hanya satu sel. Bisa dibayangkan berapa juta jumlah bakterinya
bila tanpa ada perlakuan. “Kalau ada pedagang yang mengklaim daging
unggasnya steril, bohong itu! Nggak mungkin!,” tandasnya.
Denny
tidak menampik daging ayam yang sudah melewati rantai dingin
(dibekukan) itu tidak bebas bakteri. “Bakterinya ada, tapi tidak
berkembang,” jelasnya. Dan selama penanganannya baik, yaitu mengikuti
kaidah-kaidah sanitasi, lanjut dia, maka kuman itu tidak bertambah.
Penanganannya, misalnya karkas terkemas dengan baik, pada suhu yang
konstan, dan tidak terpapar suhu di atas 10oC. Perubahan suhu yang terlalu ekstrem juga akan mempengaruhi kandungan kuman-kuman dalam daging unggas. Di atas 10oC
beberapa jenis kuman sudah mulai tumbuh. Sudah bisa Anda bayangkan
bagaimana daging ayam segar yang dijajakan berjam-jam terbuka di
pasar-pasar tradisional. “Para ahli kesehatan pangan menganjurkan
menyimpan makanan di bawah 4oC atau di atas 60oC,” saran Denny.
Kandungan Gizi Tetap
Benarkah daging ayam beku lebih sehat dibandingkan daging ayam segar? “Daging ayam
segar (tanpa pengawet) dan ayam beku sebetulnya sama sehatnya,” tukas
Suharyati, SKM, MKM, Kepala Unit Produksi Makanan RSCM dan Kepala
Instalasi Gizi RSCM, Jakarta.
Ayam
beku itu, menurut Suharyati, intinya tidak mematikan kuman, tapi
menonaktifkan kuman. Karena pada suhu tertentu, khususnya pada -18ÂșC,
kuman dinonaktifkan oleh keadaan suhu yang sangat rendah.
Menurut Ir. Hasanuddin Yasni, MM, Direktur Eksekutif Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia, suhu yang disarankan untuk membekukan produk unggas adalah -4oC sampai dengan -12oC. Tapi orang sering sering mencampurnya dengan produk perikanan yang -18oC
karena memang logistik khusus ayam di Indonesia masih minim. “Kelemahan
produk unggas yang dibekukan adalah dari tekstur dagingnya menjadi
lebih keras,” ucapnya.
Meski begitu, “Ayam beku bisa bertahan sampai tahunan. Pada suhu -18oC,
karkas utuh bertahan hingga 12 bulan. Sedangkan yang sudah
dipotong-potong, bertahan sampai 9 bulan,” paparnya. “Sebenarnya, ayam
beku bisa tahan sampai 1,5 tahun,” imbuh Hari.
Lantas, bila ayam beku itu dicairkan, apakah kumannya akan berkembang lagi? Proses pencairan (thawing) bertujuan untuk melembekkan daging ayam sebelum dimasak. “Proses pelembekan sebaiknya dilakukan dalam refrigerator (kulkas) atau dalam microwave di mode refrost,”
ucap Suharyati. Namun bukan berarti secara manual tidak bisa. Pencairan
bisa juga dilakukan pada air mengalir (keran) yang dingin, bukan dengan
air panas. “Kalau setelah proses thawing daging ayam tidak segera dimasak, kumannya akan berkembang lagi,” imbuhnya.
Meskipun dibekukan, sesungguhnya nutrisi (gizi) daging ayam tidak berubah. “Gizi,
terutama vitamin, akan turun pada saat suhu dipanaskan,” ucap Denny.
Tujuan utama pembekuan, tambah Suharyati, bertujuan lebih untuk
mempertahankan umur simpan. Sementara kehilangan nutrisi, lantaran
sangat kecil, sesuai laporan USDA, dapat diabaikan.
Sementara menurut pendapat Hari, penurunan nutrisi pada ayam yang dibekukan pasti ada. Oleh sebab itu, untuk
memperlambat penurunan itu, perlakuannya harus benar. “Kalau
penyimpanan masih dalam hitungan satu minggu, saya kira tidak akan ada
penurunan nutrisi. Sebaliknya, dalam hitungan tahun, sudah pasti ada
penurunan nutrisi dan rasa daging. Namun, tidak mungkin penjual
menyimpan hingga satu tahun,” paparnya.
Ada Keraguan
Yang
jelas, “Ayam beku atau ayam segar, itu pilihan. Tapi, sebaiknya daging
ayam segar tidak dibiarkan terlalu lama di suhu ruang. Sebaiknya ayam
yang baru dipotong langsung diolah,” saran Suharyati. Daging ayam yang
baik dan layak konsumsi, secara kasat mata, dicirikan oleh fisiknya yang
tidak berbau, tidak berwarna biru/hijau, dan dagingnya kenyal.
Berbeda
dengan negara maju, hingga kini mayoritas konsumen ayam di Tanah Air
lebih memilih daging ayam segar yang baru beberapa saat dipotong.
“Setahu saya, konsumen lebih senang membeli ayam hidup, lalu dipotong
dan disaksikan langsung,” ungkap Abdul Hadi, pedagang ayam potong hidup
di Pasar Blok A, Jakarta Selatan. Dia mengaku pernah mencoba menjajakan
ayam yang sudah dipotong terlebih dahulu, tapi ternyata tidak disukai
konsumen. Pembeli mengira, itu ayam tiren (mati kemarin)atau
berformalin.
Kenyataan
itu dibenarkan Abdusomad, pedagang ayam potong hidup di Pasar Mayestik,
Jakarta Selatan. “Terhadap ayam beku, konsumen mengaku tidak tahu cara
memotongnya. Mereka ragu daging ayam itu halal atau tidak,” ucapnya.
“Memang, pembeli lebih memilih ayam hidup langsung potong. Kalau nggak
lihat motongnya, mereka nggak mau beli,” Saritun, pedagang ayam potong
hidup di Pasar Cipete Selatan, Jakarta Selatan, membenarkan.
Pengakuan
para pedagang diamini langsung oleh konsumen. Ellen Suwoto (35)
misalnya, selama berbisnis katering di Matraman Dalam, Jakarta Timur,
mengaku selalu membeli ayam segar langsung dari pasar dan langsung
dimasak. “Ayam segar dagingnya bagus dan sudah terjamin halal. Karena
saya punya langganan, saya tahu bagaimana proses pemotongannya dari
awal, jadi sudah yakin,” kilahnya.
Pun
diakui oleh Nani Haryadi (48) yang PNS dan Maryati (45)-ibu rumah
tangga, saat ditemui di Pasar Ujung Menteng, Jakarta Timur. “Saya yakin
aja karena melihat sendiri ayamnya dipotong, jadi masih baru, bukan ayam
yang sudah nggak segar
lagi,” aku Nani. “Saya sudah lama berlangganan ayam di sini (Ujung
Menteng) dan tidak pernah ada keluhan. Saya sudah kenal penjualnya dan
yakin kalau ayam ini bagus,” imbuh Maryati.
Tak
hanya itu, Nani bahkan yakin daging ayam yang dia beli terjamin
kebersihannya karena dia melihat sendiri ayam dibersihkan dan dicuci.
Demikian pula keyakinan Maryati. Atas alasan itu pula kedua konsumen itu
tidak memilih ayam beku. “Saya ragu ayam beku yang dijual itu ayam
potong segar yang dibekukan. Takutnya ayam itu tidak terjamin halal, dan
kalau rusak ‘kan nggak
kelihatan,” dalihnya. “Saya tidak yakin ayam beku yang dijual itu dalam
kondisi baik sebelum dibekukan. Lagi pula ‘kan belum pasti halal,” imbuh
Maryati.
Namun,
tidak demikian bagi Riyanti Rizal (42), pemilik kios sate ayam di
kawasan Harapan Indah Bekasi, Jabar, yang sudah berjualan sejak 1998.
“Sebenarnya saya lebih sering menggunakan ayam segar, tapi beberapa
minggu lalu mencoba menggunakan ayam beku. Ternyata cara memasak dan
rasa dagingnya sama saja,” tuturnya. Perbedaannya, lanjut dia, sebelum
diolah harus diproses dulu (dicairkan) dan itu memakan waktu cukup lama.
“Secara
umum, konsumen masih lebih percaya pada daging segar karena secara
psikologis mereka lebih mantap membeli ayam yang secara langsung mereka
melihat sendiri prosesi penyembelihannya. Padahal, seluruh rumah potong
ayam (RPA) sudah mengantongi sertifikasi halal dari LPPOM MUI,” papar
Wiwik Sugianti, pemilik Wirabumi PS, produsen ayam segar dan beku di
Sleman, Yogyakarta. Awalnya, lanjut dia, konsumen enggan membeli daging
ayam beku, namun pelan-pelan mereka mau juga. Termasuk tetangganya yang
jadi dokter dan perawat.
Tidak Gampang
Konsumen
lebih memilih daging ayam yang baru dipotong, sah-sah saja. Namun
alangkah bijak bila konsumen ikut juga terlibat memikirkan bagaimana
menata pasar tradisional menjadi bersih dan nyaman. Sebab, secara umum,
pemotongan ayam di pasar-pasar tradisional mengabaikan persoalan limbah
dan pencemaran. Menurut Achmad Dawami, Senior Vice President PT
Primatama Karya Persada, produsen besar ayam potong di Jakarta, dari
setiap pemotongan ayam itu sekitar 8%—10% menghasilkan limbah berupa
darah dan bulu.
Oleh
sebab itu, Suherman, Supervisor Pasar Pondok Labu dan Cipete Selatan,
berharap, pemotongan ayam di pasar-pasar bisa dilokalisasi. Alhasil,
pasar bisa bersih, rapi, dan nyaman bagi pembeli. “Memang mengubah mindset (pola pikir) seseorang itu tidak gampang, perlu proses, mungkin sekian hari bahkan berbulan-bulan,” keluhnya.
Menurut
Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto, MSc., Ph.D., peneliti yang juga
dosen di Universitas Indonesia, minat konsumen terhadap produk ayam
lebih ditentukan oleh kebiasaan si konsumen itu sendiri. Konsumen lebih
suka ayam yang memang potong di tempat karena asumsinya sama seperti
sayuran, lebih segar. Kalau dibekukan, ada anggapan bahwa ini tidak
segar lagi karena mereka tidak bisa menyaksikan apakah itu dipotong
secara halal atau tidak. “Persoalannya adalah persepsi dan anggapan
kalau yang segar itu lebih baik, dan something frozen
pasti akan ada sesuatu yang hilang,” papar Riga, sapaan akrabnya.
Mengubah sifat dan kebiasaan konsumen, lanjut dia, itu sulit. Kita harus
bisa mempelajari kesukaan konsumen, lalu dengan preferensi seperti itu
bisa dilakukan modifikasi.
Dadang WI, Selamet R., Tri Mardi, Renda D., Ridwan H., Peni SP, Ryan M. (Yogyakarta)
Perlu Perhatian
Menyimpan
atau mencairkan daging ayam beku sebelum dimasak tidak bisa
sembarangan. Agar kandungan gizi daging ayam tetap terjaga, menurut
Denny Widaya Lukman, ibu-ibu atau juru masak perlu mengetahui beberapa
tips.
Sebelum dibekukan, daging ayam dicuci, lalu sebaiknya dipotong-potong sesuai kebutuhan. Malahan untuk memudahkan, sebelum dibekukan, sebaiknya potongan-potongan tadi sudah dibumbui.
Hasil
pemotongan kemudian dikemas sesuai kebutuhan sekali masak, misalnya
seperempat atau setengah bagian karkas ayam utuh. Soalnya, kalau daging
ayam mengalami beberapa kali proses beku—cair—beku—cair, Vitamin B dan
C, serta beberapa asam amino akan hilang. Paling lama, siklus beku cair
cukup dua kali. Tidak lupa, pada kemasan diberi tanggal agar dapat
diketahui mana yang harus dulu dimasak.
Dalam
hal penyimpanan dalam kulkas pun tidak boleh sembarangan. Menurut
Hasanuddin, daging ayam, ikan, dan yoghurt, penyimpanannya boleh
disatukan. Tapi kalau disatukan dengan sayuran sebaiknya dihindarkan
karena sayuran akan ketularan bau daging ayam.
Dadang WI
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar